Sabtu, 29 Agustus 2009

MENAKAR EKSISTENSI HUKUM INTERNASIONAL DAN PERAN PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA DI IRAK

Sabtu, 29 Agustus 2009 0
Hukum Internasional
Sebagaimana dikatakan Dr. Boer Mauna dalam bukunya berjudul Hukum Internasional Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, menjelaskan walaupun Hukum Internasional telah berusia hampir 4 abad dan telah merupakan sistem hukum tersendiri dan yang sekarang ini mengatur kegiatan luar negeri lebih dari 190 negara namun masih ada yang mempertanyakan apakah Hukum Internasional itu memang ada ataukah sudah merupakan suatu sistem tersendiri bila dibandingkan dengan sistem hukum negara-negara lain. Jika kita komparasikan secara prinsipil akan sangat berbeda antara Hukum Internasional dengan Hukum Nasional negara, karena dalam Hukum Internasional tidak ada kekuatan pemaksa yang dapat memaksakan berlakunya Hukum Internasional kepada negara-negara. Sedangkan di dalam Hukum Nasional ada instrumen yang memaksakan berlakunya hukum, sebut saja pihak kepolisian. Hukum Internasional memang tidak selengkap hukum Nasional. Hukum Internasional memang tidak sekomplit Hukum Nasional dengan berbagai instrumennya, namun demikian negara-negara tetap percaya bahwa Hukum Internasional itu ada dan sebagai negara yang berdaulat dan menjujung tinggi martabatnya terdapat kewajiban moral bagi sutu negara untuk menghormati dan mematuhi Hukum Internasional.

Seperti halnya Hukum Nasional, Hukum Internasional juga tidak luput dari pelanggaran-pelanggaran dan pembangkangan dari negara-negara tertentu. Pelanggaran tersebut sering terjadi dalam masalah-masalah politik dan keamanan yang dianggap vital bagi negara yang bersangkutan. Namun tiap kali terjadi pelanggaran terhadap Hukum Internsional, negara pelanggar selalu memberikan pembelaan dan penjelasan bahwa tindakan mereka tidak melanggar prinsip-prinsip Hukum Internasional. Sebut saja yang aktual ini, tindakan penyerangan Amerika Serikat ke Irak dengan dalih melindungi kepentingan dan keamanan masyarakat Internasional dan selaras dengan prinsip-prinsip Hukum Internasional adalah salah satu bentuk pembelaan tersebut. Tindakan pembelaan tersebut merupakan bentuk pengakuan negara-negara terhadap keberadaan Hukum Internasional.

Kembali kepada tindakan yang diambil Amerika Serikat terhadap Irak, dalam teori Hukum Internasional jelas bahwa tindakan tersebut yang pertama melanggar salah satu prinsip dalam Hukum Internasional yakni kedaulatan negara. Dalam kasus Island of Palma (Huala Adolf,SH-Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional 1996) Hakim Huber menyatakan bahwa kedaulatan mempunyai dua ciri yang sangat penting yakni :
-                   bahwa kedaulatan merupakan prasyarat hukum untuk adanya suatu negara
-                   kedaulatan menunjukkan suatu negara tersebut merdeka dan juga sekaligus merupakan fungsi dari negara. 

Artinya suatu negara tidak dapat menjalankan dan melaksanakan yurisdiksinya keluar dari wilayahnya yang dapat mengganggu kedaulatan negara lain. Melihat dari teori yang paling sederhana dalam Hukum Internasional tersebut apa yang dilakukan Amerika Serikat dan sekutunya tentu saja tidak dapat dibenarkan.  

Perumusan yang dilakukan oleh American Institute of  International Law yang berhasil merumuskan Declaration of the Rights and Duties of Nations, yang disusul dengan sebuah kajian yang berjudul Fundamental Rights and Duties of American Republics dan dirampungkannya Konvensi Montevideo 1933 tentang Hak dan kewajiban Negara yang disusun oleh Komisi Hukum Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa sedikit banyak telah melahirkan beberapa prinsip mengenai hak dan kewajiban negara. Hal itu antara lain tercermin dalam beberapa Hak Negara yakni a)Hak atas Kemerdekaan b)Hak untuk melaksanakan Jurisdiksi terhadap wilayah, orang dan benda yang berada di dalam wilayahnya.


Sedangkan mengenai Kewajiban Negara salah satu yang penting dan terpenting adalah kewajiban untuk tidak melakukan intervensi terhadap masalah-masalah yang terjadi  di negara lain. Melihat kasus penyerangan Amerika terhadap Irak kita semua bisa menilainya, terlebih ternyata sampai detik ini tidak ada bukti konkrit yang dapat disampaikan kepada masyarakat internasional oleh Amerika Serikat mengenai keberadaan senjata pemusnah massal milik Irak.
Melihat perkembangannya Hukum Internasional ternyata memang hukum yang benar-benar hanya mengikat secara moral terhadap negara-negara. Tidak ada satupun sanksi tegas seperti halnya dalam Hukum Nasional yang dapat diterapkan ketika negara-negara tertentu melakukan  pelanggaran terhadap Hukum Internasional. Sanksi secara moral paling-paling hanya dikucilkan atau yang terparah adalah embargo dari tata pergaulan internasional. Namun bagaimana jika negara sebesar Amerika melakukan pelanggaran terhadap Hukum Internasional seperti kasus penyerangan tersebut, pertanyaannya adalah negara mana yang akan mengkucilkan dan mengembargonya? mengingat Amerika adalah negara besar yang hampir seluruh bidang-bidangnya menguasai sendi-sendi politik dan ekonomi dunia.

Peran Perserikatan Bangsa-Bangsa
Dua kali peperangan besar yakni Perang Dunia I dan Perang Dunia II setidaknya telah menimbulkan duka trauma yang mendalam bagi masyarakat interasional. Hal inilah yang mendasari terbentuknya Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui piagamnya. Seperti yang tercantum di dalam Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), salah satu tujuan PBB adalah memelihara perdamaian dan keamanan internasional. Melihat hal tersebut maka PBB dapat mengambil tindakan-tindakan yang perlu demi mencegah dan menyingkirkan ancaman terhadap perdamaian serta melakukan penyelesaian sengketa-sengketa secara damai. Sehubungan dengan hal tersebut maka para pendiri PBB menciptakan sistem yang memberikan peranan utama kepada Dewan Keamanan PBB (DK PBB) untuk pemeliharaan keamanan dan perdamaian internasional. Sejumlah pasal di Piagam PBB dibuat untuk melegalkan keberadaan DK PBB untuk melakukan tindakan khusus dan cepat guna penyelesaian sengketa bersenjata.
Semua permasalahan yang menurut DK PBB mengancam perdamaian, apapun juga dalam perjalanannya dapat diatasi karena adanya suatu semangat akomodasi diantara 5 anggota tetap PBB (Prof.Dr.Sumaryo Suryokusumo-Studi Kasus Hukum Organisasi Internasional) , namun apakah semangat akomodasi itu dapat menjamin kepentingan dan keamanan negara dunia ke tiga? Terutama jika masalah-masalah yang dibicarakan hanya merupakan ambisi politik dan kekuasaan negara-negara besar tertentu atau jika tidak semangat akomodasi tersebut berada dalam pengaruh sistem monolitisme. Terlebih yang menjadi korban adalah negara dunia ketiga, dan Irak bisa menjadi simbolnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa PBB adalah merupakan kendaraan bagi negara-negara anggotanya yang ingin mencapai tujuannya masing-masing. Dan logika dari kendaraan tersebut akan berlari menuju arah tertentu. Sekarang ini bagaimana negara-negara besar memiliki pengaruh dan power yang kuat sehingga cukup dapat mengarahkan dan mengendalikan PBB sebagai kendaraannya menurut tujuan dan keinginan mereka. Dalam beberapa dekade kepemimpinan SekJend PBB diambil dari negara-negara dunia ketiga yang tidak cukup memiliki taji yang kuat dibanding dengan negara-negara besar lainnya dalam tata hubungan internasional. Hal ini tidak lain adalah maksud yang tersembunyi agar dia sendiri mudah untuk dikendalikan. Namun kuat tidaknya kepemimpinan di dalam tubuh PBB sesungguhnya ada di tangan individu tersebut.

Kegagalan PBB untuk mencegah aksi penyerangan AS ke Irak adalah salah satu bukti bahwa lemahnya badan ini. Justru PBB digunakan sebagai lembaga yang dapat melegitimasi dan mencari dukungan bagi AS dan sekutunya untuk menyerang Irak. Sungguh ini merupakan salah satu kelemahan yang fatal dari organ sebesar PBB. Karena dengan demikian terpatahkan seluruhnya cita-cita luhur dan mulia yang ada dalam Piagam PBB itu. Sehingga sangat diragukan kekuatan PBB dalam memelihara dan menciptakan perdamaian dunia, bahkan saat ini AS sudah kembali “berulah” dengan kembali memojokkan negara-negara yang dianggap mengancam pedamaian (Korut dan Iran), kita lihat saja bagaimana kiprah Peserikatan Bangsa-Bangsa dalam mewujudkan perdamaian dunia.


Jumat, 28 Agustus 2009

Istilah Terorisme

Jumat, 28 Agustus 2009 0
Persoalan pertama dan sangat substansial dalam pembahasan terorisme adalah masalah definisi. Sangat sulit untuk mendapatkan definisi yang tepat untuk istilah teroris atau terorisme disebabkan oleh faktor subyektifitas pembuat definisi itu sendiri. Mantan Perdana Menteri Yunani, Andreas Papendrou, pernah menyatakan: “one man’s terrorist is another man’s freedom fighter”. Ini berarti bahwa teroris bagi satu orang bisa jadi merupakan pejuang bagi orang lain. Kelompok Hizbullah bisa jadi dianggap teroris bagi Israel, akan tetapi kelompok ini juga dinilai sebagai pahlawan oleh orang Palestina atau sebagian orang Libanon. Bagi Amerika Serikat dan Sekutunya, Osama Bin Laden adalah teroris, namun juga tidak sedikit orang di dunia yang menganggapnya sebagai pahlawan dan ikon perlawanan terhadap imprealisme AS. Dalam hal ini terlihat bahwa pemberian label ‘teroris’ tidak bisa lepas dari faktor subyektifitas, dan subyektifitas ini ditentukan oleh penilaian moral dan posisi politik ideologis seseorang.
Sebuah contoh lain, padaera 80an dan 90an pemerintah Indonesia secara politik mendukung PLO (Palestine Liberation Organization) dalam usaha mencapai negara Palestina merdeka dan sangat sulit bagi kita untuk menyebut kelompok ini sebagai teroris, tetapi bagi Israel PLO dicap sebagai organisasi teroris. Begitu pula dengan kelompok Hamas yang saat ini menguasai pemerintahan Palestina, Israel masih menunjukkan keengganan untuk menerima kelompok garis keras tersebutsebagai wakil Palestina karena sebagian anggota parlemen Israel lebih melihat Hamas sebagai kelompok teroris.
Pendefinisian terorisme secara akademik melihat pada aktifitas dan tidak berdasar pada ideologi yang melatarbelakanginya, dalam pengertian bahwa kelompok dengan dasar ideologi apapun dan tujuan politik apapun apabila menggunakan metode teror dapat disebut teroris. Kiras memberi pengertian tentang terorisme sebagai “... the sustained use, or threat of use of violence for political purpose such as inspiring fear, drawing widespread attention to a political grievance and/or provoking draconian or sustainable response”[1]
Dari definisi ini terdapat tiga aspek yang harus dicermati. Pertama, aspek penggunaan dan ancaman kekerasan yang dilakukan secara sistematis. Aksi terorisme tidak terbatas pada saat penggunaan kekerasaan secara real, tetapi juga mencakup penggunaan ancaman kekerasaan atau intimidasi yang dilakukan untuk menciptakan kondisi ketakutan dalam masyarakat. Sementara penggunaan kekerasaan yang dimaksudkan di sini memiliki cakupan yang lebih luas, baik menggunakan senjata atau tidak, menggunakan senjata konvensional ataupun senjata non konvensional, sebagai contoh; ancaman penggunaan virus antraks oleh suatu kelompok untuk membuat ketakutan dalam masyarakat. Kedua, terorisme memiliki tujuan politis. Aksi terorisme tidak sekedar bertujuan untuk melukai ataupun membunuh satu atau sekelompok orang, tapi terorisme memiliki tujuan politis yang jauh lebih besar dibalik jumlah korban akibat aksinya. Apabila suatu kelompok teroris melakukan pembajakan ataupun penyanderaan dan meminta sejumlah uang untuk tebusan, maka kelompok teroris memiliki tujuan lebih dari sekedar jumlah nominal uang atau materi yang diminta. Perbedaan antara aksi teroris politik dan kriminal murni akan dibahas lebih lanjut pada bagian terpisah. Ketiga, teroris mengharapkan respon yang tidak proporsional dari pemerintah ataupun dari pihak status-quo. Respon yang tidak proporsional bisa berarti tidak cukup (insufficient) ataupun berlebihan (overwhelming). Respon pemerintah yang tidak cukup dalam menyikapi terorisme akan membuat rakyat kehilangan kepercayaan kepada pemerintah, sedangkan respon yang berlebihan akan menimbulkan social-cost dan menjadi potensi antipati rakyat terhadap pemerintah.


[1] James D. Kiras, 2002, “Terrorism and Irregular Warfare”, dalam John Baylis, et. al, Strategy in the Contemporary World: an Introduction to Strategic Studies, Oxford University Press, Oxford., hal. 221.