Jumat, 28 Agustus 2009

Istilah Terorisme

Jumat, 28 Agustus 2009
Persoalan pertama dan sangat substansial dalam pembahasan terorisme adalah masalah definisi. Sangat sulit untuk mendapatkan definisi yang tepat untuk istilah teroris atau terorisme disebabkan oleh faktor subyektifitas pembuat definisi itu sendiri. Mantan Perdana Menteri Yunani, Andreas Papendrou, pernah menyatakan: “one man’s terrorist is another man’s freedom fighter”. Ini berarti bahwa teroris bagi satu orang bisa jadi merupakan pejuang bagi orang lain. Kelompok Hizbullah bisa jadi dianggap teroris bagi Israel, akan tetapi kelompok ini juga dinilai sebagai pahlawan oleh orang Palestina atau sebagian orang Libanon. Bagi Amerika Serikat dan Sekutunya, Osama Bin Laden adalah teroris, namun juga tidak sedikit orang di dunia yang menganggapnya sebagai pahlawan dan ikon perlawanan terhadap imprealisme AS. Dalam hal ini terlihat bahwa pemberian label ‘teroris’ tidak bisa lepas dari faktor subyektifitas, dan subyektifitas ini ditentukan oleh penilaian moral dan posisi politik ideologis seseorang.
Sebuah contoh lain, padaera 80an dan 90an pemerintah Indonesia secara politik mendukung PLO (Palestine Liberation Organization) dalam usaha mencapai negara Palestina merdeka dan sangat sulit bagi kita untuk menyebut kelompok ini sebagai teroris, tetapi bagi Israel PLO dicap sebagai organisasi teroris. Begitu pula dengan kelompok Hamas yang saat ini menguasai pemerintahan Palestina, Israel masih menunjukkan keengganan untuk menerima kelompok garis keras tersebutsebagai wakil Palestina karena sebagian anggota parlemen Israel lebih melihat Hamas sebagai kelompok teroris.
Pendefinisian terorisme secara akademik melihat pada aktifitas dan tidak berdasar pada ideologi yang melatarbelakanginya, dalam pengertian bahwa kelompok dengan dasar ideologi apapun dan tujuan politik apapun apabila menggunakan metode teror dapat disebut teroris. Kiras memberi pengertian tentang terorisme sebagai “... the sustained use, or threat of use of violence for political purpose such as inspiring fear, drawing widespread attention to a political grievance and/or provoking draconian or sustainable response”[1]
Dari definisi ini terdapat tiga aspek yang harus dicermati. Pertama, aspek penggunaan dan ancaman kekerasan yang dilakukan secara sistematis. Aksi terorisme tidak terbatas pada saat penggunaan kekerasaan secara real, tetapi juga mencakup penggunaan ancaman kekerasaan atau intimidasi yang dilakukan untuk menciptakan kondisi ketakutan dalam masyarakat. Sementara penggunaan kekerasaan yang dimaksudkan di sini memiliki cakupan yang lebih luas, baik menggunakan senjata atau tidak, menggunakan senjata konvensional ataupun senjata non konvensional, sebagai contoh; ancaman penggunaan virus antraks oleh suatu kelompok untuk membuat ketakutan dalam masyarakat. Kedua, terorisme memiliki tujuan politis. Aksi terorisme tidak sekedar bertujuan untuk melukai ataupun membunuh satu atau sekelompok orang, tapi terorisme memiliki tujuan politis yang jauh lebih besar dibalik jumlah korban akibat aksinya. Apabila suatu kelompok teroris melakukan pembajakan ataupun penyanderaan dan meminta sejumlah uang untuk tebusan, maka kelompok teroris memiliki tujuan lebih dari sekedar jumlah nominal uang atau materi yang diminta. Perbedaan antara aksi teroris politik dan kriminal murni akan dibahas lebih lanjut pada bagian terpisah. Ketiga, teroris mengharapkan respon yang tidak proporsional dari pemerintah ataupun dari pihak status-quo. Respon yang tidak proporsional bisa berarti tidak cukup (insufficient) ataupun berlebihan (overwhelming). Respon pemerintah yang tidak cukup dalam menyikapi terorisme akan membuat rakyat kehilangan kepercayaan kepada pemerintah, sedangkan respon yang berlebihan akan menimbulkan social-cost dan menjadi potensi antipati rakyat terhadap pemerintah.


[1] James D. Kiras, 2002, “Terrorism and Irregular Warfare”, dalam John Baylis, et. al, Strategy in the Contemporary World: an Introduction to Strategic Studies, Oxford University Press, Oxford., hal. 221.

0 komentar:

Posting Komentar